1. Aja kagetan, aja gumunan dan
aja dumeh
Pada masa kecil di
bawah bimbingan ayah tirinya Atmopawiro, Soeharto mulai mengenal falsafah Jawa.
Saat itu pula Soeharto mengenal ajaran tiga 'aja'. Aja kagetan, aja gumunan
dan aja dumeh.
Artinya kira-kira
jangan kagetan, jangan heran dan jangan mentang-mentang. Hal ini diresapi betul
oleh Soeharto.
"Ini kelak jadi
penegak diri saya dalam menghadapi soal-soal yang bisa mengguncangkan diri
saya," kata Soeharto.
Inti ajaran ini bermaksud untuk
menanamkan sikap sabar, tenang, dan tidak sombong. Bila orang ingin berhasil
dalam kehidupan bermasyarakat, keyakinan pada diri sendiri harus dipupuk dan
dibina. Jangan sombong saat sedang diamanahi jabatan tertentu.
2. Hormat
kalawan gusti, guru, ratu lan wong atuwa karo
Prinsip hidup 'Hormat kalawan gusti, guru, ratu lan wong atuwa karo'
selalu dipegang Soeharto sepanjang hidupnya. Artinya hormat pada tuhan, guru, pemerintah dan
kedua orang tua.?
Ratu di sini
dipakai sebagai lambang pemerintahan dan negara. Hal ini mengandung pengertian
bahwa manusia di negaranya tidak mengabdi pada perorangan, melainkan pada nusa
dan bangsa.
Sedangkan wong
atuwa karo artinya tidak hanya kedua orangtua kandung. Pada mertua dan saudara
tua pun harus berbakti.
"Sampai jadi presiden saya merasa tidak berubah dalam hal ini. Saya
junjung tinggi ajaran ini dan saya percaya akan kebenarannya," kata Soeharto.
3. Sa-Sa-Sa
Sa-sa-sa atau 'tiga sa' ini juga merupakan salah satu falsafah hidup Soeharto. Sabar Atine, Saleh Pikolahe, Sareh
Tumindake. Artinya kira-kira selalu sabar, selalu saleh dan taat beragama, dan
selalu bersikap bijaksana.
Soeharto belajar
agama sejak kecil. Ketika tinggal di Wiryantoro bersama pamannya yang bernama
Prawirodiharjo, Soeharto belajar
mengaji di langgar (musala kecil) dekat rumah. Suasana rumah pamannya yang
religius juga menjadi bekal kehidupan rohani Soeharto.
Soeharto juga
dekat dengan ilmu kebatinan. Tapi menurutnya ilmu kebatinan berbeda dengan
klenik. Ilmu kebatinan adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.?
"Sesuai dengan peninggalan nenek moyang kita. Ilmu kebatinan itu
adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Mendekatkan batin kita kepada-Nya.
Orang kadang-kadang salah kaprah, mengira ilmu kebatinan itu ilmu klenik,"
kata Soeharto.
4. Mikul dhuwur
mendhem jero
Mikul dhuwur
mendhem jero artinya menjunjung tinggi-tinggi, membenam dalam-dalam. Peribahasa
ini mengajarkan cara anak berbakti pada orang tuanya. Seorang anak harus
menjaga benar-benar nama baik orang tua, serta jasa-jasanya pada negara. Harus
dijaga dan jangan sampai menodainya.
Sebaliknya jika
ada kesalahan orangtua, anak tak perlu mengungkit-ungkitnya. Lebih elok jika
dimaafkan. Anak juga harus memperlakukan orang tua dengan baik semasa hidup dan
ketika sudah meninggal.
Soeharto pun mengajarkan
prinsip Mikul dhuwur mendhem jero ini pada enam anaknya.
5. Sugih tanpa
bandha
Pepatah ini
lengkapnya berbunyi Sugih tanpa bandha, nglurug tanpa bala, digdaya tanpa aji dan
menang tanpa ngasorake. Artinya kaya tanpa kekayaan, menyerbu tanpa bala
tentara, kuat perkasa tapi ajian, menang tanpa ada yang merasa dikalahkan.
Sugih tanpa
bandha juga berarti segala perbuatan manusia didasarkan atas keikhlasan batin
tanpa pamrih. Nglurug tanpa bala bisa diartikan merasa diri berharga bukan
karena ditakuti, disegani melainkan karena kemampuan untuk setia pada apa yang
kita yakini.
Digdaya tanpa
aji, menang tanpa ngasorake berarti seseorang menjadi perkasa, menjadi
pemenang, menjadi raja bukan karena punya kesaktian atau kekuatan tempur luar
biasa. Tetapi memiliki kemampuan untuk memelihara ketentraman dan kedamaian
hidup.